Lebih mudah mana simpati dengan orang yang kesusahan atau bersyukur bersama mereka yang sukses? Ternyata hal yang kedua jauh lebih sulit. Setuju?
Tragisnya Efraim dalam perikop ini tidak lepas dari sikap mereka yang iri hati terhadap keberhasilan Yefta dan pasukan Israel mengalahkan Amon. Padahal menurut Yefta, ia sudah meminta suku Efraim bergabung, namun mereka menolak (ay. 2).
Pada masa Gideon, Efraim pernah bersikap serupa terhadap kemenangan Gideon (8:1). Dan Gideon secara diplomatis meredakan ancaman mereka. Namun, kali ini mereka mengancam hendak membakar seisi rumah Yefta (ay. 1). Tindakan Yefta walaupun sangat berlebihan, merupakan pembelaan diri.
Tragedi ini sekaligus memperlihatkan kepada kita betapa zaman hakim-hakim, terjadi kemerosotan moral dalam kehidupan umat. Berulang kali mereka mengkhianati Tuhan, dan para penyelamat mereka pun dicatat bukan tanpa kelemahan. Kalau Gideon dengan dendam, dan ambisinya mau menjadi raja, maka Yefta dengan mobilisasinya hampir menghabiskan suku Efraim.
Jangan biarkan dosa iri menguasai hatimu. Biarkan Roh Tuhan yang mengendalikan pusat hidupmu itu. Belajar melihat bagaimana Tuhan memakai orang-orang di sekitarmu untuk menggenapi rencana-Nya seperti Ia memakai Ebzan, Elon, dan Abdon! Ia juga mau memakaimu!